Kamis, 11 April 2013

Berterima Kasihlah Kepada Margaret Thatcher


Judul artikel ini harusnya lebih panjang: Mengapa Anda Penggemar Sepakbola Inggris Harus Berterima Kasih Kepada Margaret Thatcher. Sebab, tanpa bekas perdana menteri Inggris yang meninggal hari Senin (8/4) lalu ini, sepakbola Inggris mungkin tak akan terkemas sebagai tontonan paling rapi (menarik dan komersial) dibanding liga-liga lain di Eropa.

Bagi anda yang mengikuti dunia perpolitikan Inggris mungkin akan melihat ini sebagai ironi. Thatcher dikenal sebagai perdana menteri yang benci [paling sedikit, tidak suka], dengan sepakbola. Ia menyebut penggemar sepakbola sebagai feral mob (gerombolan perusuh, liar), yang selayaknya diatur dan diawasi, kalau perlu dengan tangan besi.

Thatcher semakin kukuh dengan pendapatnya itu ketika Tragedi Heysel tahun1985 terjadi, di final Piala Champions antara Liverpool dan Juventus, yang menelan korban jiwa 39 orang. Ia marah besar dengan FA dan (pendukung) Liverpool yang dianggap sebagai biang kerusuhan.

Akan tetapi, sejujurnya Tragedy Heysel itu bersegi banyak. Bahwa pendukung Liverpool mengamuk dan salah adalah fakta yang tidak terbantahkan. Karenanya, ketika kemudian sepakbola Inggris dihukum lima tahun tak boleh ikut kompetisi Eropa, tidak ada yang hendak memprotes hukuman itu. Namun pendukung Liverpool tidaklah hidup di ruang sosial politik yang vakum. Ia adalah cerminan keputusasaan hidup yang merata di kota-kota industrial Inggris jaman itu.

Dan keputusasaan itu tercipta karena kebijakan Thatcher untuk secara revolusioner melakukan perubahan di bidang politik dan ekonomi. Setelah naik ke tampuk kekuasaan di tahun 1979, ia melakukan liberalisasi perekonomian secara besar-besaran, swastanisasi begitu banyak perusahaan negara, menutup industri yang dianggap merugi, serta mengurangi anggaran pendidikan dan olahraga.

Kebijakan itu menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan dalam jangka yang sangat pendek. Ratusan ribu keluarga terlantar dan terkadang kehidupan satu entitas masyarakat hancur total. Jutaan orang terjebak lobang gelap kesulitan ekonomi. Yang terparah terkena dampak sapuan revolusi Thatcher ini siapa lagi kalau bukan kelas pekerja Inggris. Mereka menjadi gelap mata dengan kehidupan. Dan kita tahu, sepakbola adalah adalah olahraganya kelas pekerja.

Tak heran kalau salah seorang petinggi FA saat itu, karena muaknya dengan kebijakan Thatcher, di hadapannya mengatakan, "Kami tidak menginginkan hooligan yang anda ciptakan, Nyonya Thatcher."

Thatcher tak beringsut dari kebijakannya dengan kira-kira mengatakan, "Kalau memang kehilangan pekerjaan, mintalah saja tunjangan pengangguran. Toh itu sudah tersediakan."

Kebencian Thatcher terhadap penggemar sepabola juga tercermin ketika sebuah tragedi lain terjadi di tahun 1989: Hillsborough. Sebanyak 96 orang pendukung Liverpool tergencet mati ketika hendak menyaksikan semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest. Belakangan diketahui, setelah laporan penyelidikan resmi diperbolehkan dibuka untuk umum, penyebab utamanya adalah ketidakkompetenan polisi. Tapi saat itu suara resmi pemerintah -- dan diluncurkan lewat kampanye beberapa media -- adalah bahwa penyebabnya pendukung Liverpool yang mabuk dan tak punya tiket. Baru tahun lalu Perdana Menteri David Cameron mengakuinya dan meminta maaf.

Itulah sebabnya gayung kebencian itu bersambut di kalangan penggemar dan administrator sepakbola. Mereka tak pernah lupa dengan ucapan-ucapan Thatcher, dan mereka sulit memaafkannya. Cobalah lihat pertandingan antara Manchester United versus Manchester City Senin (8/4) lalu. Salah satu pertandingan terbesar di musim ini, bersamaan dengan hari meninggalnya Thatcher, dengan sengaja tidak melakukan pengheningan cipta (atau tepuk tangan penghormatan) layaknya terjadi bila seorang tokoh meninggal. Tidak ada ban hitam di lengan para pemain.

Meski demikian, sesungguhnya pasar bebas Thatcher tidak sekadar menyebar kesengsaraan. Ia juga membuka peluang, melonggarkan birokrasi dan mendorong inovasi. Ketika kehidupan mulai menyesuaikan diri dengan realita hidup yang ada, muncul terobosan-terobosan untuk menyesuaikan diri, termasuk di dalamnya sepakbola.

Terkungkung dengan cengkraman birokrasi FA dan pembagian keuntungan yang dianggap tidak adil, lima direktur klub terbesar Inggris berinisiatif menyusun proposal untuk membuat kompetisi sendiri. Mereka ini adalah David Dein dari Arsenal, Martin Edwards dari Manchester United, Noel White dari Liverpool, Irving Scholar dari Tottenham Hotspur dan Philip Carter dari Everton. Kelimanya merasa bagian keuntungan mereka terlalu kecil, padahal realitanya klub merekalah yang pada dasarnya memberi sumbangan keuangan terbesar untuk menghidupkan kompetisi sepakbola Inggris.

Proposal kelima klub ini berujud menjadi sebuah perusahaan dengan dukungan dana dari Rupert Murdoch, taipan media pemilik Sky, yang membeli hak tayang pertandingan dari kompetisi baru ini. Klub-klub yang lebih kecil juga turut tergoda karena iming-iming pembagian keuangan yang cukup besar.

FA tak mampu berbuat banyak untuk mencegah rencana kompetisi "bedolan" ini karena adanya jaminan kebebasan berusaha di bawah Thatcher. Dengan berkedok sebagai perusahaan, maka kompetisi itu mempunyai hak hidup layaknya perusahaan pada umumnya, untuk kemudian membuat produk dan memasarkan produknya yang kebetulan saja sepakbola. Dan di tahun 1992 muncullah kemasan kompetisi sepakbola Inggris yang baru: Premier League.

Dengan agresif Sky memasarkan kompetisi baru ini ke seluruh dunia. Semakin besar pasar direngkuh Sky, semakin klub-klub Inggris berlimpah uang. Semakin pula klub-klub Liga Primer mampu membeli pemain bagus yang mereka suka dengan harga berapapun juga. Pemain bagus ingin bermain di Liga Primer karena gaji yang tinggi. Kedatangan pemain bagus itu membuat kompetisi makin menarik. Ujung-ujungnya penggemar makin banyak dan pasar makin besar. Uang pun semakin banyak masuk. Sempurnalah industri sepakbola Inggris.

Mungkin inilah ironi hidup. Persemaiannya bisa saja dilakukan dengan tidak sengaja oleh mereka yang justru membenci. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar