Kamis, 18 April 2013

Coachella: Konser Musik Dalam Satu Klik


Pertama, mari mengantre tiket. Lalu berjubel masuk menuju ke dekat panggung. Suasana sempit dan minim oksigen. Pandangan terhalang penonton lain — apalagi oleh mereka yang mengambil foto dan video! Aduh, tadi kendaraan diparkir di mana?

Ketika menonton konser musisi asing di Indonesia, keseluruhan kegiatan tak menyenangkan di atas bisa menghabiskan kocek Anda minimal ratusan ribu rupiah. Belum jika kita menghitung faktor lain, seperti waktu dan kenyamanan. Sekarang, coba buang jauh-jauh semua prosedur biasa tersebut.

Kita tahu bahwa konser bisa dipindahkan ke komputer Anda melalui koneksi Internet. Dalam hal ini kita harus berterima kasih kepada Marc Scarpa, pengusaha asal AS yang bersusah payah mencari terobosan untuk hal tersebut. Pada tahun 1996 Marc secara fenomenal mengemas perhelatan Tibetan Freedom Concert ke dalam bit-bit data, yang akhirnya bisa dinikmati secara langsung oleh 36 ribu penonton di seluruh dunia. 

Sejak saat itu teknologi webcast tersebut semakin berkembang. Woodstock ‘99 yang menampilkan artis sekaliber Red Hot Chili Peppers, Rage Against the Machine, Limp Bizkit dan Metallica adalah mencatat rekor di abad ke-20: sekitar 200 ribu orang pergi menonton konser secara langsung dan 2,4 juta jiwa melihatnya melalui sambungan Internet! 

Jumlah penonton “konser musik dalam satu klik” ini melewati mereka yang menonton siaran langsung via televisi yang jumlahnya cuma sekitar 140 ribu.

Lalu ada band U2 yang menggelar konser fenomenal “Live at the Pasadena Rose Bowl”. Konser ini disiarkan langsung via YouTube pada tahun 2009, yang ditonton oleh 10 juta pasang mata di seluruh dunia.

Walaupun jelas tak sama dengan pengalaman mendatangi konser secara langsung, “mendatangi” konser online jelas menjadi alternatif bagi penikmat musik di seluruh dunia. 

Keuntungan dari konser macam ini yang paling utama adalah penghematan jarak dan biaya. Konser nun jauh di Eropa atau di AS bisa kita nikmati di rumah atau kantor. Bahkan jika tak punya koneksi Internet mumpuni, Anda bisa menontonnya bertemankan segelas kopi di kafe terdekat. Melipat jarak ini penting bagi para pecinta musik yang punya keterbatasan fisik namun tetap ingin menonton.

Kedua, keuntungan untuk penonton. Bayangkan jika ada konser musik tiga hari dan Anda cuma punya tiket untuk hari ketiga. Anda bisa mengintip dulu apa yang terjadi di dua hari awal dan menerka-nerka bagaimana suasana yang akan Anda hadapi, termasuk bersiap-siap sebelum sampai ke lokasi acara. Penonton yang awalnya tak berniat menonton langsung juga bisa tergoda untuk mampir.

Ketiga, keuntungan kepada band. Band kecil yang tampil di festival besar macam Coachella akan mendapat bantuan ulasan yang bisa diakses di seluruh dunia. Band besar tak usah ditanya lagi, gema dari penampilan langsung ini bisa berlipat ganda — apalagi di era media sosial macam Facebook dan Twitter. Penonton (atau “partisipan” dalam istilah Marc Scarpa) pun bisa langsung urun pikiran saat menonton live.

Untuk festival yang disebutkan terakhir, Coachella Valley Music and Arts Festival, ajang ini merupakan salah satu pionir dalam menyiarkan konser musik. Pada tahun 2011, panitia Coachella bekerja sama dengan YouTube dan mengantarkan penampilan langsung dari puluhan musisi tidak hanya dalam satu saluran. 

Dengan banyaknya saluran yang disediakan, penonton online Coachella bisa bebas memilih. Teknologi baru ini semakin mirip dengan pergi ke Coachella langsung (atau festival musik yang serupa) — kita bisa berpindah dari satu panggung ke panggung lain untuk mengejar musisi yang kita gemari.

Saat ini layanan menonton konser via internet cukup beragam. Selain YouTube, Vevo juga pernah meluncurkan serial konser langsung. Billboard dan Ustream tak luput menceburkan diri. MTV juga berpartisipasi, bahkan digadang-gadang berpotensi menyajikan terobosan baru (karena dinilai berpengalaman dalam menggelar konsep serupa via televisi). 
 
Masalah yang tersisa hanyalah konflik yang sering terjadi antara musisi, panitia, penyelenggara layanan dan label. Dimana yang terakhir disebut sering menjadi batu sandungan, karena mencari keuntungan besar dari masa depan konser ini (terkait lesunya industri musik saat ini?)

Masalah yang terakhir adalah infrastruktur internet yang mumpuni. Di negara-negara yang memiliki koneksi internet “dewa”, gampang diakses dan murah, menonton konser online bukanlah halangan. Mereka dilengkapi perkakas pintar yang serbabisa.

Masalah tersebut saya alami sendiri saat mencoba menonton Radiohead pada ajang Coachella 2012 pada hari Minggu (15/4) kemarin. Sekitar setengah jam menunggu, tampilan di layar komputer saya masih tetap sama: pemandangan pohon palem yang seharusnya bergerak, tapi tidak. Tak ada Thom Yorke, tak ada Greenwood bersaudara, Ed O’Brien atau Phil Selway: hanya pohon-pohon palem kaku dan koneksi yang terus-menerus buffering. Ampun, koneksi Internet di Indonesia!

Jadi kira-kira kapan kita bisa menonton konser dalam satu klik dengan lancar (sambil leyeh-leyeh di kasur) ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar