Senin, 26 November 2012

Melestarikan Adat dan Budaya Lewat Ulos


Sore diiringi hujan rintik-rintik, sepeda motor yang ditumpangi melaju menuju jalan tak terlalu lebar yang di kanan-kirinya sawah dengan padi sedang menguning. Desa Silangge di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, adalah tujuan perjalanan ini. Tepat di samping SMPN 6 Sipirok, rumah Avenius Ritonga (51) kami dapat dan kebetulan sekali laki-laki ramah itu sedang berada di rumah.

Sambil meladeni pembeli yang datang langsung ke rumahnya untuk membeli ulos dan songket Tapsel, penulis mengganggunya dengan beberapa pertanyaan seputar ulos Tapsel atau Sipirok. Dia bercerita, ulos Tapsel atau Sipirok terbagi dua, yaitu Ulos Godang dan Paroppasadun. Ulos Godang digunakan pada acara adat seperti pernikahan (horja), memasuki rumah baru, pemberian gelar dan acara-acara besar adat lainnya. Sementara Ulos Paroppasadun digunakan untuk prosesi adat bayi seperti menyambut kelahiran dan pemberian.

Kedua olus tersebut didominasi warna merah marun dan hitam serta 27 simbol yang semuanya memiliki makna sehingga tidak boleh sembarangan menempatkannya. Seperti simbol Rambu yang mengartikan walau dimana berada tetaplah berperilaku baik. Manik-manik atau Simata mengartikan mengurus anak , Saut yang bermakna takdir, Pucuk Robung bermakna dalam kehidupan mulai kelahiran hingga kematian tetap berguna.

"Beda Ulos Tapsel dengan Toba adalah di sambungan. Ulos Toba tidak memakai sambungan, sementara ulos Tapsel memakai sambungan yang bermakna penyatuan. Perempuan dan laki-laki menyatu dalam perkawinan hingga akhir hayat, tak terpisahkan," kata Advenius, Minggu (25/11/2012).
Menurut Advenius, ada motif yang jumlahnya harus ganjil namanya Si Jobang. Ini motif yang zaman dulu menggambarkan soal strata sosial antara raja dan pembantu (Japurut). Dimulai dengan simbil raja dan diakhiri juga dengan simbol raja dan dalam pembuatan motif ini berlaku ritual adat menyantan (itak) yang sampai hari ini masih berlangsung.

Melihat kerumitan pembuatan ulos tersebut tentu tak semua orang dapat melakukannya. Namun menurut ayah empat orang anak dan satu cucu ini, seringnya pelatihan dan pendidikan otodidak yang diberikannya semua orang bisa membuat ulos. "Kalau yang buat belum tentu tahu artinya tapi sudah tahu susunannya," katanya.
Untuk membuat Ulos Godang kualitas baik yang terjamin kerapian dan susunan motifnya, dari banyak murid laki-laki tamatan SD itu, hanya dua orang yang mampu mengerjakannya. "Se-Kabupaten Tapsel ini, dari banyak muridku, cuma dua oranglah yang mampu mengerjakan Ulos Godang dengan kualitas terjamin," ucapnya.

Makanya, harga ulos kualitas baik ini dihargai sebesar Rp 1,5 juta. Waktu pembuatannya memakan waktu hingga tiga bulan untuk satu lembarnya dengan cara tradisional, berbeda dengan Ulos Godang kualitas di bawahnya yang dihargai mulai Rp 350 ribuan. Untuk Ulos Paroppasadun dihargai Rp 300 hingga 650 ribu. Begitu juga dengan songket Tapsel-nya.

Ditanya soal awal ketertarikannya untuk menekuni dunia pertenunan yang identik dengan dunianya kaum perempuan ini, petani kopi itu tersenyum sambil sedikit menerawang mengingat balik cerita beberapa tahun silam. Dia bilang, sedikit pun tak punya pengetahuan tentang ulos tersebut. "Aku cuma tamat SD, karena putus sekolah inilah aku menenun karena kupikir apalah pekerjaan yang bisa kulakukan dan memberi penghasilan. Aku mulai di Sopo Godang Kampung Paranjulu. Keluarga menentangku tapi aku tetap melakukannya," katanya.

Dia mulai menenun tahun 1979. Setelah bersusah payah menyakinkan keluarga bahwa apa yang dilakukannya bukan pekerjaan tabu, tahun 1980 akhirnya keluarga menerima keinginannya. Masih dengan minim pengetahuan, dia terus menenun hingga tahun 1983 datang semacam petunjuk gaib yang menurutnya talenta yang membuatnya lebih mendalami makna dari ulos tersebut.
Advenius lalu melakukan inovasi-inovasi dalam motif dan corak yang awalnya dianggap melanggar adat hingga dia sempat disidang oleh sutan atau ketua adat. "Gara-gara memasukkan motif sopo godang dan pohon beringin, akhirnya aku disidang adat. Alasanku waktu itu, kita punya sopo godang tapi sekarang sudah tidak ada lagi, tinggal cerita. Untuk mengingatkan semua itu kepada generasi muda kita maka kumasukkanlah motif itu ke dalam ulos, akhirnya raja adat menerima alasan ku," ucapnya sambil tertawa.

Kini Advenius banyak diundang untuk memberikan pelatihan dan menjadi tempat berkonsultasi adat khususnya prosesi perkawinan. Dia juga menulis buku dengan ulos dan budaya lain yang berkaitan agar generasi muda nanti tak kehilangan pengetahuan soal adat dan budaya leluhur yang merupakan kekayaan dan kearifan lokal yang layak dijaga dan pertahankan.
"Generasi penerus harus tahu makna dan manfaat yang terkandung dalam ulos ini. Semua berisi tata cara berkehidupan yang baik. Kita mau adat ini tetap dilestarikan," tegasnya.

Sementara itu, mewakili suara dari generasi muda, Hendrawan Hasibuan selaku Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Rakyat (LKAR) Tapsel mengatakan, Pemkab harusnya proaktif dan mendukung pelestarian kearifan lokal tersebut karena selain dapat menjadi ikon daerah juga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan.
"Perlu pendidikan keterampilan di tingkat pelajar dan baiknya menjadi mata pelajaran bermuatan lokal dalam kurikulum yang bisa meminimalisir pengangguran. Kita akan bersinergi dengan komponen di Tapsel dalam peningkatan kapasitas SDM dan sosialisasi Ulos Tapsel di masyarakat. Jangan sampai generasi muda tidak mengetahui kekayaan yang dimiliki dari adat dan budayanya," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar