Jumat, 04 Januari 2013

Gucci, Perusahaan Keluarga yang Sarat Konflik


Bisnis keluarga biasanya merintis usaha mereka dengan susah payah dari awal. Mereka menggunakan sumber daya pribadi untuk menggerakkan roda usaha. Lingkup sebagian besar perusahaan keluarga awalnya kecil dan sempit. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman skala usaha menjadi bertambah dan akhirnya beberapa usaha berhasil mencapai posisi puncak, bahkan mengalahkan perusahaan yang tidak diperkuat dengan basis keluarga.


Meskipun mempunyai lingkup awal usaha yang kecil, bisnis keluarga bagi perekonomian beberapa negara memiliki pengaruh yang signifikan. Kita bisa tengok beberapa dinasti bisnis yang sedang berjaya sekarang ini diawali dari bisnis keluarga, di antaranya ialah Bakrie, Ford, Mittal, dan sebagainya. Kejatuhan atau kebangkitan bisnis-bisnis keluarga tersebut bisa mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional negara yang bersangkutan (Indonesia, AS, India, dan seterusnya) karena bisnis keluarga ini memiliki skala usaha yang demikian besar dan menjangkau segala lini kehidupan perekonomian masyarakat dalam suatu negara serta memiliki nilai strategis ekonomis bagi bangsa.



Sebuah adagium terkenal mengenai bisnis keluarga menyatakan, "Generasi pertama membangun bisnis, kemudian generasi kedua mengokohkannya, akhirnya generasi ketiga menghancurkannya". Nampaknya adagium tersebut mencerminkan apa yang harus dialami oleh beberapa perusahaan dan bisnis keluarga multinasional seperti Guinness, Ford, Adidas, Bata, IBM, dan Gucci. 



Generasi pertama: Sang Perintis yang Cemerlang



Tersebutlah Gucci, sebuah rumah mode sekaligus produsen barang-barang mewah nan eksklusif yang harus mengalami pasang surut selama abad dua puluh. Didirikan oleh Guccio Gucci di kota Florence tahun 1921, Gucci masa kini lebih dikenal sebagai sebuah ikon fashion Italia. Di samping itu, Gucci juga termasyhur sebagai label desainer barang-barang berbahan kulit asli yang bernuansa glamor. Tidak ada yang meragukan bahwa Gucci ialah salah satu merek fashion global yang mudah dikenali dan paling bergengsi sepanjang sejarah modern.



Seperti usaha keluarga lainnya, Gucci awalnya didirikan sebagai sebuah toko pembuatan pelana di 1906 karena saat itu kuda masih menjadi sarana transportasi yang paling umum. Guccio sangat berbakat dalam pembuatan barang-barang berbahan kulit. Usaha rintisannya yaitu menjual tas kulit buatannya pada para joki di tahun 1920-an. Belum puas dengan ini, Guccio memperluas usahanya dengan membuat kopor-kopor berdesain mewah. Di tahun 1938, Guccio Gucci membuka gerai pertama di Via Condotti, Roma, Italia.   



Di tahun 1947, ikon Gucci yang mudah dikenali, tas kulit dengan pegangan bambu, diciptakan. Guccio Gucci menciptakan banyak karyanya yang kini menjadi klasik, di antaranya ialah kopor, dasi, sepatu, dan tas tangan terkenal yang memamerkan pegangan bambu. 



Guccio Gucci beristrikan Aida Calvelli dan keduanya dianugrahi enam orang anak. Namun, di kemudian hari hanya empat orang anak laki-lakinya yang memiliki peran besar dalam mengelola bisnis keluarga tersebut. Masing-masing bernama Vasco, Aldo, Ugo, dan Rodolfo Gucci. Keluarga Gucci berduka dengan kematian kepala keluarga, Guccio Gucci di tahun 1953. Meninggalnya Guccio Gucci menjadi penanda berakhirnya generasi pertama Gucci.



Hingga saat itu, Gucci sebagai bisnis keluarga tampak mengalami masa keemasan setelah berhasil menangani sederet tantangan eksternal. Akan tetapi, nampaknya ini adalah masa-masa tenang sebelum datangnya badai. 

Generasi Kedua: Persemaian Bibit Konflik



Perusahaan keluarga memiliki sejumlah titik rawan yang jika lalai untuk diantisipasi dengan baik akan berpotensi menimbulkan kekacauan sistemik, salah satunya ialah persaingan antaranggota keluarga yang bertanggung jawab mengelola perusahaan tersebut. Sepeninggal sang ayah, Aldo Gucci menjadi nahkoda bagi perusahaan keluarga. Sejak saat itu, Gucci menjadi sebuah ajang perseteruan keluarga yang pelik dan sengit. 



Aldo Gucci memang berhasil mengantar Gucci menuju kancah internasional dengan membuka butik pertama mereka di The Big Apple alias New York. Akan tetapi semua itu ia lakukan dengan susah payah di antara begitu banyaknya konflik yang muncul di antara sesama pemilik nama keluarga Gucci. Sengketa mengenai warisan, kepemilikan saham, dan pengelolaan perusahaan sehari-hari telah menjadi begitu jamak sehingga perusahaan menjadi goyah. Hal itu diperparah dengan kecenderungan pihak-pihak yang berseteru untuk membangun kerjasamanya sendiri. Alhasil, Gucci telah menjadi begitu terfragmentasi.



Selama dekade 1960-an, Gucci mencanangkan pembukaan cabang-cabang baru di wilayah Asia Timur, tepatnya di Hongkong dan Tokyo. Saat itu Gucci juga tengah mengembangkan logonya yang terkenal "GG" (inisial sang pendiri). Hingga saat itu, posisi Gucci masih dalam batas aman.



Semua mulai berubah saat Gucci menapaki akhir dekade 1970-an. Bermula dari serangkaian keputusan bisnis yang kurang tepat dan diperburuk oleh perseteruan internal keluarga Gucci yang terus menerus mendera, Gucci terseret menuju jurang kehancuran. Sebuah keputusan yang populer dan diterima dengan baik oleh banyak konsumen terbukti 'menodai' citra Gucci yang dahulu dikenal sebagai merek eksklusif dan mewah. Keputusan tersebut adalah keputusan Aldo Gucci untuk meluncurkan sebuah koleksi aksesori Gucci, yang berujung pada merakyatnya merek Gucci. Tindakan ini awalnya semata ditujukan untuk membatasi ruang gerak Rodolfo dalam mengendalikan perusahaan. Namun siapa sangka malah menyebabkan kejatuhan perusahaan. Pemalsuan produk Gucci di pasaran juga semakin memperparah citra Gucci di mata konsumen setianya.



Tidak peduli dengan performa buruk perusahaan, dua Gucci bersaudara – Aldo dan Rodolfo- tetap menunjukkan sikap permusuhan satu sama lain, terutama disebabkan oleh masalah divisi Parfum mereka yang kontraproduktif. Seakan belum cukup dengan konflik yang ada, pada tahun 1983 anak laki-laki Aldo bernama Paolo Gucci memperburuk keadaan dengan mengajukan gagasan untuk meluncurkan versi yang lebih terjangkau dari Gucci yang dinamainya “Gucci Plus”. Konon Paolo bertengkar hebat dalam rapat dewan pimpinan saat mengajukan idenya tersebut hingga ia harus jatuh pingsan akibat adu fisik. Sebagai aksi balas dendam terhadap sang ayah, Paolo tanpa takut melaporkan sang ayah atas dugaan atas tindak penghindaran pajak.  Aldo harus menanggung hukuman pidana atas laporan anaknya itu. Dan konflik ayah-anak ini segera menjadi headline di media massa.

Generasi Ketiga: Akhir yang Tragis



Keadaan Gucci berubah genting saat Rodolfo mangkat di tahun 1983. Putra Rodolfo –Maurizio- akhirnya menerima warisan saham dari almarhum ayahnya dan memutuskan untuk bekerjasama dengan Paolo Gucci demi mendapatkan kendali penuh atas dewan direksi. Keputusan itu tampaknya tidak diakomodasi  dengan baik oleh anggota keluarga Gucci lainnya. Semua anggota keluarga Gucci yang masih bertahan dalam perusahaan memutuskan untuk keluar dan hanya Uberto (cucu Aldo) yang masih bersedia bertahan di sana.  



Maurizio berusaha keras selama empat tahun untuk membangkitkan citra dan kinerja Gucci. Ia merekrut Dawn Mello sebagai Wakil Pimpinan Eksekutif dan Direktur Kreatif Internasional. Sebuah tim kreatif juga dibangun dan diperkuat oleh beberapa nama yaitu Geoffroy Beene, Calvin Klein, dan Tom Ford. Akhirnya setelah melakukan banyak cara, Maurizio harus menerima keputusan pahit dari para manager senior Gucci bahwa ia dinyatakan tidak mampu mengelola Gucci. Maurizio dipaksa menjual sahamnya kepada Investcorp di tahun 1993.



Setelah itu, Domenico De Sole dan Tom Ford menjadi figur utama dalam perusahaan yang sedang sekarat tersebut dan misi mereka adalah memulihkan citra Gucci menjadi merek eksklusif kembali. Kepemilikan saham juga akhirnya diserahkan sejumlah 40% kepada PPR (Pinault-Printemps-Redoute) yang berkedudukan di Prancis dan sejumlah 11% pada Credit Lyonnais serta Bernard Arnault sejumlah 20%. Kini Gucci dipimpin oleh CEO-nya yang bernama Patrizio di Marco.



Gucci telah membuktikan pada kita secara nyata akan potensi positif dan negatif dari pendirian sebuah bisnis keluarga. Melejitnya kesejahteraan dalam kasus Gucci malah membuat keluarga menjadi tercerai berai. Terlihat pula bahwa generasi berikutnya tidak serta merta mewarisi keahlian dan kecakapan dalam mengelola bisnis seperti halnya mewarisi gen dari orang tua mereka. Meski tidak semuanya, orientasi generasi penerus adalah bagaimana mendapatkan sumber penghasilan dari bisnis tersebut. Dan ambisi itu justru berbuah petaka bagi bisnis yang sudah sekian lama dibangun.


sumber : courtesy of www.ciputraentrepreneurship.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar